Rabu, 27 Februari 2019

GILA HORMAT


- GILA HORMAT & RUNTUHNYA UKHUWAH -

Semua orang pasti ingin dihormati atau setidaknya diuwongke. Saat memiliki posisi atau pangkat lebih tinggi, kemudian diperlakukan semena-mena atau disepelekan oleh orang yang pangkatnya lebih rendah,  semua orang pasti merasa kecewa dan sedih. Penghormatan yang diberikan seseorang, memang acapkali sangat tergantung pada jabatan atau kekuasaan yang dimiliki. Ketika kekuasaan tak lagi di tangan, saat jabatan sudah melayang, banyak orang berpaling, dan tak lagi merasa perlu merasa hormat.
 
Mengapa tradisi atau kecenderungan semacam itu, demikian kental terasa di negeri kita ? Hal ini terjadi, karena jabatan atau kekuasaan acapkali dijadikan sebagai power, untuk menjalankan kebijakannya. Kebijakan yang lebih dominan didasari oleh power, hampir selalu mengabaikan nurani dan terjerumus pada sikap semena-mena.
Alhasil promosi dan rekrutmen yang dilakukan lebih didasari kepentingan (vested interested), serta pertimbangan like or dislike. Akibatnya bermunculanlah pejabat berpangkat ‘nagabonar’ serta penunjukan pejabat tidak sesuai dengan kompetensinya.

Jabatan dan kekuasaan memang selalu menawarkan kemewahan. Sebab, dengan jabatan di tangan, seseorang bisa dengan mudah ‘mengutak-atik’ struktur pejabat di bawahnya, sekaligus menebar keresahan, yang membuat para bawahan merasa perlu, untuk selalu rajin ‘setor muka’ dan ‘angkat telor’.

Me-manage sebuah institusi atau pemerintahan dengan pola manajemen konflik, selanjutnya akan melahirkan ekses, tumbuh suburnya sikap saling curiga, antara atasan dengan bawahan, bahkan antara sesama bawahan. Sikap curiga memang diperlukan untuk memperkuat sikap mawas diri.

Namun, sikap yang selalu mencurigai siapa dan apa pun, dapat dipastikan akan berdampak buruk bagi sebuah perusahaan/ institusi. Sebab, hal itu akan menyebabkan semakin menguatnya suasana kurang kondusif, yang bermuara pada menurunnya vitalitas kerja. Karena itu, diingatkan bagi semua kalangan yang tengah berada di sentra kekuasaan atau tengah memiliki jabatan strategis, hendaknya tidak lupa diri.
Tidak sepatutnya, jabatan yang disandang membuatnya terninabobokkan serta kehilangan jatidirinya sebagai makhluk sosial (homo socius), yang seharusnya tidak boleh teralienasi dari komunitas yang telah membesarkannya selama ini. Jabatan jangan sampai membuat Anda berumah di angin dan kehilangan sense of humour.
Seseorang yang (hanya) dihormati karena jabatannya, berarti yang bersangkutan tidak mampu menjadikan jabatannya itu sebagai washilah (jalan) untuk memberi kesejukan dan kedamaian bagi bawahannya dan orang-orang di sekitarnya.

Jabatan mestinya benar-benar dimanfaatkan untuk lebih banyak menabur kebajikan, sehingga ketika lengser dari jabatan tersebut, tetap dihormati dan dikenang sebagai seorang pemimpin yang arif wicaksono dan selalu berpihak pada rakyat. (https://mikekono.wordpress.com/2010/04/14/penghormatan-karena-jabatan/)

Socrates pernah mengatakan: "METHYSMENO TIS TIMIS EINAI MIA KOUVERTA TIS PEISMATARIS" (Gila hormat itu adalah selimut bagi orang yang hatinya seperti batu). Apa yg dikatakan Socrates telah menjadi fakta sosial. Banyak orang kini mabuk kehormatan, dan dijangkiti virus "gengsi", yg pada umumnya mereka sulit menerima masukan, nasihat, lebih-lebih kritikan. Yang diharapkannya hanyalah "sanjungan" dan "pujian". 

Jika ungkapan tadi mengatakan "gila hormat" adalah selimutnya orang yg hatinya seperti batu, ini memang tak dapat dipungkiri, karena orang yg berhati keras, yg egosentris-nya sangat kuat, selalu memandang sesuatu berpusat pada dirinya sendiri, jika tidak sesuai dengan apa yg ia pikirkan, ia menolaknya secara tidak bersahabat dan tanpa ada toleransi sedikitpun.

Sejauh itukah anda memiliki "rasa gengsi" dan "mabuk kehormatan", sehingga harga diri anda hanya dinilai dari faktor ini?

Rasulullah bersabda, “Barang siapa merasa senang orang-orang berdiri untuk menyambutnya, hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” HR. Tirmidzi

“Maukah kalian kuberitahu siapa penghuni neraka?” tanya Rasulullah. Para sahabat menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Yaitu setiap orang yang kasar, angkuh, dan sombong.” (Bukhari, hadits 4537, dan Muslim, hadits nomor 5092)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mem-persekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”   (Q.S. An-Nisaa’: 36)

 “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguh-nya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.S.Al-Israa’: 37)

 “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesung-guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18)

Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walaupun hanya sebesar dzarrah (sebesar biji atom), maka ia tidak akan masuk surga.”(Riwayat Imam Muslim dan Bukhari  dari Abdullah bin Mas’ud r.a.)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar