- GILA
HORMAT & RUNTUHNYA UKHUWAH -
Semua orang pasti ingin dihormati atau
setidaknya diuwongke. Saat memiliki posisi atau pangkat lebih tinggi, kemudian diperlakukan
semena-mena atau disepelekan oleh orang yang pangkatnya lebih rendah,
semua orang pasti merasa kecewa dan sedih. Penghormatan yang diberikan
seseorang, memang acapkali sangat tergantung pada jabatan atau kekuasaan yang
dimiliki. Ketika kekuasaan tak lagi di tangan, saat jabatan sudah melayang,
banyak orang berpaling, dan tak lagi merasa perlu merasa hormat.
Mengapa tradisi atau
kecenderungan semacam itu, demikian kental terasa di negeri kita ? Hal ini
terjadi, karena jabatan atau kekuasaan acapkali dijadikan sebagai power, untuk menjalankan
kebijakannya. Kebijakan yang lebih dominan didasari oleh power, hampir selalu mengabaikan
nurani dan terjerumus pada sikap semena-mena.
Alhasil promosi dan rekrutmen
yang dilakukan lebih didasari kepentingan (vested
interested), serta pertimbangan like or
dislike. Akibatnya bermunculanlah pejabat berpangkat ‘nagabonar’
serta penunjukan pejabat tidak sesuai dengan kompetensinya.
Jabatan dan kekuasaan memang
selalu menawarkan kemewahan. Sebab, dengan jabatan di tangan, seseorang bisa
dengan mudah ‘mengutak-atik’ struktur pejabat di bawahnya, sekaligus menebar
keresahan, yang membuat para bawahan merasa perlu, untuk selalu rajin ‘setor
muka’ dan ‘angkat telor’.
Me-manage sebuah institusi atau
pemerintahan dengan pola manajemen konflik, selanjutnya akan melahirkan ekses, tumbuh suburnya sikap
saling curiga, antara atasan dengan bawahan, bahkan antara sesama bawahan.
Sikap curiga memang diperlukan untuk memperkuat sikap mawas diri.
Namun, sikap yang selalu
mencurigai siapa dan apa pun, dapat dipastikan akan berdampak buruk bagi sebuah
perusahaan/ institusi. Sebab, hal itu akan menyebabkan semakin menguatnya
suasana kurang kondusif, yang bermuara pada menurunnya vitalitas kerja. Karena
itu, diingatkan bagi semua kalangan yang tengah berada di sentra kekuasaan atau
tengah memiliki jabatan strategis, hendaknya tidak lupa diri.
Tidak sepatutnya, jabatan yang
disandang membuatnya terninabobokkan serta kehilangan jatidirinya sebagai
makhluk sosial (homo socius), yang
seharusnya tidak boleh teralienasi
dari komunitas yang telah membesarkannya selama ini. Jabatan jangan sampai
membuat Anda berumah di angin dan kehilangan sense of
humour.
Seseorang yang (hanya) dihormati
karena jabatannya, berarti yang bersangkutan tidak mampu menjadikan jabatannya
itu sebagai washilah (jalan)
untuk memberi kesejukan dan kedamaian bagi bawahannya dan orang-orang di
sekitarnya.
Jabatan mestinya benar-benar
dimanfaatkan untuk lebih banyak menabur kebajikan, sehingga ketika lengser dari
jabatan tersebut, tetap dihormati dan dikenang sebagai seorang pemimpin yang arif wicaksono dan selalu
berpihak pada rakyat. (https://mikekono.wordpress.com/2010/04/14/penghormatan-karena-jabatan/)
Socrates
pernah mengatakan: "METHYSMENO TIS TIMIS EINAI MIA KOUVERTA TIS
PEISMATARIS" (Gila hormat itu adalah selimut bagi orang yang hatinya
seperti batu). Apa yg dikatakan Socrates telah menjadi fakta sosial. Banyak
orang kini mabuk kehormatan, dan dijangkiti virus "gengsi", yg pada
umumnya mereka sulit menerima masukan, nasihat, lebih-lebih kritikan. Yang
diharapkannya hanyalah "sanjungan" dan "pujian".
Jika
ungkapan tadi mengatakan "gila hormat" adalah selimutnya orang yg
hatinya seperti batu, ini memang tak dapat dipungkiri, karena orang yg berhati
keras, yg egosentris-nya sangat kuat, selalu memandang sesuatu berpusat pada
dirinya sendiri, jika tidak sesuai dengan apa yg ia pikirkan, ia menolaknya
secara tidak bersahabat dan tanpa ada toleransi sedikitpun.
Sejauh itukah anda memiliki "rasa
gengsi" dan "mabuk kehormatan", sehingga harga diri anda hanya
dinilai dari faktor ini?
Rasulullah bersabda, “Barang siapa merasa senang orang-orang berdiri
untuk menyambutnya, hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
HR. Tirmidzi
“Maukah kalian kuberitahu
siapa penghuni neraka?” tanya Rasulullah. Para sahabat menjawab, “Ya.”
Rasulullah saw. bersabda, “Yaitu setiap orang yang kasar, angkuh, dan sombong.”
(Bukhari, hadits 4537, dan Muslim, hadits nomor 5092)
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mem-persekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri”
(Q.S. An-Nisaa’: 36)
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguh-nya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi
dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.S.Al-Israa’: 37)
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesung-guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Q.S. Luqman: 18)
Rasulullah
SAW bersabda :
“Siapa saja
yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walaupun hanya sebesar dzarrah
(sebesar biji atom), maka ia tidak akan masuk surga.”(Riwayat Imam Muslim dan
Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud r.a.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar